Sabtu, 04 April 2015

This is First

Aku menginjakkan kaki di depan gerbang sebuah rumah tua. Rumah ini milik manusia. Aku tak tau mengapa mereka membawaku kesini. Aku tak memakai penutup mata atau tali yang mengikatku lagi. Mungkin mereka percaya aku takkan kabur karna mereka tau aku tak tau tempat apa ini. Kami membuka gerbang berwarna hitam yang ditumbuhi tumbuhan rambat. Aku mengamati awan, daerah ini diselimuti awan kelabu dengan tak ada satupun sinar matahari yang ingin bertemu tanah ini. Tidak seperti siang-siangku di negeri peri. Kami berjalan menyusuri jalan menuju pintu depan. Suara daun-daun kering terinjak terdengar dipadukan dengan suara angin yang mengarah ke sebelah barat. Matthew berjalan di depanku dan Sam di belakangku. Halaman rumah ini sangat luas, sampai terdapat beberapa patung air mancur. Aku masih terdiam sejak di perjalanan. Aku lelah bertanya dengan tak ada jawaban yang terlontar dari mulut mereka. Kali ini aku akan mengikuti kemauan mereka sampai aku punya celah untuk kabur atau bahkan membunuh mereka sebelum pergi. Mereka pikir mereka siapa? Berani-beraninya menculikku. Sam menolong melepaskan daun-daun kering yang tersangkut di bawah gaun bodohku saat sampai di depan pintu dan tersenyum ke arahku. I hate the way he smiles.
"Dobrak, Matt." Suruh Sam sambil menunjuk ke arah pintu utama.
"Memang sudah lama aku tak mengotori tanganku, Sam. Tapi aku tak ingin mengotori tanganku untuk saat ini. Suruh saja peri bodohmu itu melakukan sihirnya." Kata Matt mengarahkan pandangannya ke arahku.
"Aku lelah, sihirku takkan berfungsi." Aku membual. Sam tersenyum ke arahku.
"Baiklah, kalian para putri dan pangeran memang menyebalkan." Sam menjentikkan jarinya dan pintu terbuka.
Apa?!
Ia dwarf?!
Atau peri?!

"Kaget, Gwen?" tanya Matt yang berhasil membaca ekspresiku.
"Ayo, cepat masuk!" Sam tak memperhatikan wajahku.
Rumah ini..... tak ada apapun di dalamnya, dengan lantai putih berdebu yang menghasilkan cetakan sepatu kami.
"Kau punya ide, dimana mereka menyembunyikan petunjuknya, Gwen?" tanya Sam.
"Apa?! Kau bercanda? Aku bahkan tak tau untuk apa aku disini."
"Mencari petunjuk dan menjalankan petunjuk, ya itulah aturan mainnya." Tukas Matt.
"Lalu? Kau pikir kita dalam permainan?!" Kataku kesal.
"Sssttt.... jangan terlalu berisik." Kata Sam perlahan-lahan berjalan ke arah pintu di sebelah kanannya.
Suara hening kami kemudian digantikan oleh hentakan kaki yang berjalan dari belakang pintu itu. Semakin dekat, dekat.... dan engsel pintu pun mulai bergerak secara paksa. Itu bukan hanya hentakan sepasang kaki telanjang, itu terdengar seperti beratus-ratus pasang kaki. Pintu berhasil terbuka. Makhluk-makhluk putih keluar dan berterbangan di atas kepala kami, mereka bangsa demons. Kepalaku terasa pusing karna mereka terus membisikan sesuatu yang cepat di kedua telingaku. Samar-samar aku mendengar suara teriakkan Matt yang meronta untuk menghentikan suara-suara itu. Aku meringkut jatuh ke lantai. Aku memeluk lututku lalu mulai menutup telingaku karna tak kuat mendengarnya. Tiba-tiba tanganku dipegang erat oleh Sam. Dan kami ada di padang rumput nan luas.

"Tadi itu menyakitkan dari yang biasanya." Kata Matt yang masih membiarkan badannya menimpa rumput segar yang baru dibasahi embun ini.
"Ya, mereka aneh. Tak seperti biasanya. Aku hanya menangkap beberapa kata. Daisy. Piano. Pistol. Selebihnya aku tak dengar, bagaimana denganmu, Gwen?" Tanya Sam.
"Aku dengar di sebuah rumah tua beraroma hangat, Daisy terus saja menyembunyikan piano putih miliknya dan ada pria dengan pistol di kepalanya. Selanjutnya, aku menutup telingaku." Kataku.
"Bodoh, kau peri bodoh!" Matt mengeluarkan sumpah serapahnya untuk kesekian kalinya.
"Matt! Kau dengar apa memang? Kita seharusnya berterimakasih pada Gwen. Tidak biasanya kita menemukan petunjuk sejelas itu." Sela Sam.
"Ya... ya.... baiklah. Terimakasih peri, kau sebenarnya cantik jika tak bodoh." Kata Matt tersenyum ke arahku.
"Di mataku, kau jauh lebih bodoh." Kataku pada Matt.
"Apa?!" Manusia itu mudah terpancing amarahnya.
"Apa?" Tanyaku menantang.
"Jauhi dia saja, Gwen. Dia hanya anti pada gadis, setelah dicampakkan." Ejek Sam pada Matt.
"Kau tak harus membicarakan itu lagi, Sam. Aku tidak dicampakkan." Kata Matt lesu.
"Dia mulai lagi, menyedihkan." Sam terus mengejek.
"Aku lelah, aku belum makan." Kataku sambil menyeret sepatuku saat berjalan.
"Aku juga, sebentar lagi kita akan menemukannya." Kata Matt.
"Serius, kau tau tempat ini, Matt?" Tanya Sam.
"Ini jalan ke rumahku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar