Hola
para pecinta Twilight!!! *loh? Iya bener. Breaking Dawn Part 2 udah keluar
*ribut*. Terus apa hubungannya tik? Yaiya ada hubungannya, gua kan udah janji
posting Antagonist Part 2 tepat film ini keluar di Indonesia. Cielah gaya
bener. Udahan ah ngalaynya.
DIARY WENDY
Kamis malam,
11 Februari 1995
Dear my diary, hari ini aku dan Jeremy merencanakan sesuatu. Suatu
rencana yang menurutku sedikit gila. Dan memang GILA! Kudengar dari Jeremy,
Jane ingin menukar cream wajahku dengan poison agar mukaku berantakan saat
pesta nanti. Hhh… Jane selalu tak bosan menjailiku. Ini adalah awal rencana
kami yang sebelumnya dipancing dengan suara aneh Jeremy. Yap aneh, hihi.
Aku disuruh tidur lebih cepat malam ini, padahal aku ingin sekali
pergi ke UnEvidentLand untuk ke sekian kalinya. Tapi apa boleh buat. Kau tau,
saat Jane terjatuh karna Jeremy menyandung kakinya, itu saat paling lucu yang
pernah aku lihat. Tapi aku harus menahan tawaku. Aku harus terlihat polos dan
tak tau apapun. Aku menyalakan lampu dan,
“Siapa itu? Jane? Kau kah?” tanyaku pada Jane.
“Jane? Kenapa kau ini?” tanya mama yang membuatku ingin tertawa.
“Hhh… syukurlah itu hanya Jane
yang terjatuh. Ayah kira ada orang jahat yang mau menculik Wendy,” kata ayah
menyusul mama.
“Ada apa Jane?” tanyaku pura-pura tak tau apapun.
“Eh… a.. aku ha-nyaa…” jawabnya terbata-bata.
“Itu apa di tanganmu? Itu kan cream wajahku,” kataku.
“Oiya, aku ke kamarmu karna ingin meminta cream wajahmu sedikit.
Punyaku habis. Bolehkah aku ambil? Kau kan masih ada,” katanya cerdik.
“Tapi bukankah creamku tidak cocok dengan kulit mukamu,” kataku
menyelidik.
“Hmm… sepertinya aku mulai cocok dengan creammu. Bolehkah? Kan punyamu
masih banyak,”
“Oh silahkan saja, aku tak keberatan,” anggukku.
“Baiklah, ayo tidur kembali. Besok ayah harus ke Balai kota,” ajak
ayah.
“Selamat malam, ayah, mama,” kataku sambil menguap.
Jumat, 12
Februari 1995
Hari ini mungkin hari terakhir Jane ada disini, karna this the plan…
Aku dan Jeremy ingin membuat Jane senang dalam artian kami memberinya
pelajaran. Kami akan bawa ia ke sebuah tempat…
“Tuh kan, Jane. Kau tak cocok dengan creamku,” kataku in acting.
“Hah? Aku tak mengerti,” tanya Jane heran.
“Jane, mukamu kenapa? Kenapa merah-merah begitu?” tanya mama.
Jane berlari ke kamarnya and this is when Jeremy in actions!
“Jelas saja mukamu merah, aku yang menukarnya saat kau jatuh hahahaha….”
“Siapa itu? hey kau pengecut! Tampakkan dirimu. Jangan hanya menertawaiku
dari belakang!” teriak Jane.
“Apa kau yakin ingin melihatku?”
“Memang tampangmu seperti apa? Aku tak takut apapun!” Jane mulai
terlihat marah.
Setelah ayah pergi ke balai kota beserta mama ke salon, ini saat
paling menakutkan. Aku selalu takut jika di rumah hanya ada aku dan Jane.
Rasanya aku ingin kabur. Untung ada Jeremy yang selalu menemaniku.
“Wendy! Mukaku kenapa?! Pasti
kau yang membuatku begini!” bentak Jane marah.
“Mana kutahu, Jane. Kau sendiri yang meminta creamku,” kataku takut.
“Apa kau tak punya teman lain untuk menjailiku?” tanya Jane
“Hmm… ti… ti..dak,” jawabku terbata-bata.
“Lantas siapa yang membuat mukaku begini?! Bagaimana aku bisa percaya
diri di pesta nanti?”
“Aku yang menjailimu, memangnya kenapa? Aku hanya membantu Wendy!”
kata Jeremy yang mungkin mengetahuiku kehabisan kata-kata.
“Jeremy?! Sssstt…” bisikku, ia sudah melenceng dari rencana.
“Tenanglah, aku hanya ingin membereskannya,” bisik Jeremy
meyakinkanku.
“Oh! Jadi ini yang selama ini kudengar. Siapa kau?! Teman Wendy?
Darimana kau masuk?!” bentak Jane.
“Kau tak perlu tau siapa aku. Aku kesini hanya ingin membuatmu sadar!
Kau tak perlu menjadi jahat pada Wendy, jika kau ingin mendapat segalanya,”
Jeremy membocorkan rencananya.
“Tau apa kau tentang aku?! Kau tak tau Wendy telah merebut segalanya
dariku, kadang aku bingung apa aku si peran antagonis atau dia?!” bentak Jane
semakin marah.
“Hmm… orang yang menarik,” kata Jeremy melirik ke arahku yang berarti
saatnya pergi.
*night*
Saat yang menegangkan. Kami harus membuat Jane terperangkap ke rencana
kami. Kau tau, tak mudah membodohi seorang Jane. Tapi kami berhasil!
Kami akan bawa Jane ke tempat bibi Lily, seolah-olah Jane Turner telah
tertukar. Bibi Lily setuju! Tapi ada satu masalah, seseorang mengetahui rencana
ini kata Jeremy. Setelah kami melihat tingkahnya, sepertinya ia mengerti.
Minggu, 14
Februari 1995
Melihat tak ada kendala apapun, kami melanjutkan rencana kami. Hari
ini Jeremy menyuruhku membuat mulut jane menganga! Aku akan berperan sebagai ‘Princess’
but she’s so arrogant. Sebenarnya ini bagian tersulit membalikkan keadaan dari
protagonist menjadi antagonist.
“Hey pembersih kandang kuda yang jorok! Minggir kau, aku ingin
mengambil kuda kesayanganku,” kataku sedikit kaku ke hadapan Jane.
“We… Wen.. dy?! Darimana saja kau?! Oh, jadi disini kau bersembunyi dariku
dan mama?!” kata Jane mungkin heran. Aku yakin, ia pasti bingung.
“Hey gadis gila! Apa kau tak diajarkan sopan santun?!” kataku seperti
yang diajarkan Jeremy.
“Maaf, Putri Wendy. Akhir-akhir ini ia memang sedikit aneh. Silahkan
tuan putri mengambil kudamu,” kata seseorang di sebelah Jane, aku yakin ia yang
mengetahui rencana ini.
“Putri? Hey si Wendy ini hanya anak pembawa sial di keluargaku!” kata
Jane tak mau kalah.
“Jane!” kata Will tegas. “Beliau putri di negri ini, apa kau lupa?!”
bisik Will bersahabat. Aku heran, mengapa ia malah mendukung rencana ini.
“Hmm.. oke putri Wendy HOAX, silahkan!” kata Jane kesal
“Oke, selamat tinggal gadis kotor!” kataku sedikit ketus.
Rabu, 17 Oktober
1995
Sejauh ini rencana kami gagal. Semua hampir keluar dari apa yang kami
susun. William Nilsson. That’s his name. Dia di penjara sekarang. Awalnya, ia
memang senada dengan rencana kami. Tapi, ia membawa Jane ke café dan berkenalan
dengan prince. Sebenarnya tak masalah. Tapi, Will membuatnya semakin rumit.
Semenjak itu, kami jadi sulit menemuinya. Seharusnya, Jane tetap bekerja di
kandang kuda. Namun, namanya makin terkenal sebagai ‘Espressologist’. Apalagi
ia bertemu dengan Jason dan semakin menggila. Argh… gagal. Terpaksa, kami harus
membawa Jane kembali ke London. Untung di UnEvidentLand adalah daerah tak kenal
waktu, maksudnya selama apapun kami disini, di dunia nyata hanya berkisar waktu
satu detik.
Kami mengembalikan Jane tepat di saat, ia jatuh………
Kamis, 11 Februari 1995
Why? Aku
kembali? Yes, I back!!!!! Tapi dimana aku?
“Siapa
itu? Jane? Kau kah?” tanya Wendy.
“We---
Wendy?!” tanyaku heran.
“Ya, aku
Wendy. Ada apa denganmu? Mengapa kau ada di kamarku?” tanya Wendy lagi.
“Hhh…
syukurlah itu hanya Jane yang terjatuh. Ayah kira ada orang jahat yang mau
menculik Wendy,” kata ayah di pintu kamar wendy.
Aku
masih bingung. Aku tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku masih heran. Apa itu
mimpi?
“Itu apa
di tanganmu? Itu kan cream wajahku,” kata Wendy.
“Di
tanganku? Apa ini?” kataku sambil melihat ke tanganku sendiri. Aku bingung
mengapa cream wajah Wendy ada di tanganku.
“Jane,
kau ini kenapa? Mungkin kau sedang tidur dan bermimpi hingga akhirnya terjatuh
di sini. Sudahlah kembali ke kamarmu dan tidur. Besok, ayah harus ke Balai
Kota,” ajak ayah.
“Tunggu
dulu, ayah. Wendy, ini cream wajahmu,” kataku melempar cream wajah Wendy.
*at my
bedroom*
Mimpi
macam apa ini? Aneh sekali. Kepalaku masih sedikit pusing untuk mengingat apa
yang terjadi. Tunggu dulu……… seharusnya aku menukar cream wajah Wendy! Ya! Aku
ingat! Dan aku ada di…. Uh… emm… Un… Un… UnEvidentLand. Mimpi? Khayalan?
Imajinasi? Tapi ini terlalu terlihat nyata. Sulit dipercaya. Will, Carl,
Nastly, Vially, Jason…… *pingsan*
Jumat, 12 Februari 1995
Kepalaku
pusing sekali. Dengan berat aku berjalan dan melihat ayah,
“Ayah
pergi dulu, siap-siap untuk hari spesial kalian!” kata ayah berpamitan.
“Dah
ayaaaah,” kata Wendy.
“Jane,
apa kau ikut mama ke salon?” kata mama.
“Salon?
Uh sepertinya tidak, aku sedang tak enak badan ma, kepalaku sedikit pusing,”
kataku menolak.
“Yasudah,
mama berangkat yaaaa,” pamit mama.
“Ya,
bye,” kataku tak bersemangat.
Damn.
Ada apa ini? Kenapa aku ini?
“Wendyyyyy!
Wendyyyyy!” teriakku memanggil Wendy ke taman.
“Ada apa
Jane?” tanya Wendy.
“Baiklah,
Wendy. Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi padaku? Aku terlalu pusing
untuk mengingatnya,” kataku menyelidik.
“Mengapa
kau tanyakan padaku? aKu tak tau apapun,” kata Wendy polos.
“Dengar,
Wendy. Aku bermimpi tentang UnEvidentLand. Dunia aneh dimana aku bertemu dengan
orang-orang aneh dan kau menjadi putrinya….” kataku konyol.
“Itukan
mimpimu, mengapa kau tanyakan padaku,” kata Wendy meninggalkanku.
“Tunggu,
Wendy!” kataku mengejar. “Aku tau, kau pasti menyembunyikan sesuatu,”
“Sesuatu?
Apa itu?” tanya Wendy balik.
“Entahlah,
tapi jangan coba-coba membohongiku. Mimpiku benar-benar terlihat nyata walaupun
itu tak mungkin,” kataku.
“Kau
gila, Jane!” kata Wendy.
Senin, 15 Februari 1997
“HAPPY
BIRTHDAY TO YOU… HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY OUR ANGELS…” semua bernyanyi.
“Happy
sweet seventeen, Wendy dan Jane!” kata ayah dan mama berbarengan.
17
tahun, umur yang sempurna untuk bersenang-senang, terkecuali aku. Entahlah,
semenjak pengalaman aneh itu terjadi, aku selalu memikirkannya. Masih ada tanda
tanya besar di kepalaku.
“K… let
blow that, Jane. Sebelum kuemu basi,” kata Grace, temanku yang menyadariku
sedang melamun.
“Mmmmh…
fyuuuuh..” kataku meniupnya tak bersemangat.
“Yeeeeeaaah…
what’s your wishin’ tanya teman-temanku.
“Nothin’
kataku singkat.
“Jane?!
That’s your special day! Masa kau tak meminta apapun?” protes Pricil.
“Sudahlah,
kalian cicipi saja makanannya,” kataku meninggalkan kerumunan teman-temanku.
*setelah
acara membosankan berlalu*
“Jane…
hey Jane…” panggil Wendy pelan di kamarku.
“Ada apa
bocah aneh?” kataku memelas.
“Ini
saatnya kujawab semua pertanyaanmu 2 tahun yang lalu,” kata Wendy masih sedikit
berbisik.
“Pergilah.
Aku tak perlu jawaban itu,” usirku.
“Ta…
tapi dengan Will….”
“Who
cares. I don’t know that person. That’s just my imagination…”
“No,
Jane. It isn’t your imagination, dream or whatever that. UnEvidentLand itu ada,
Jane. Percayalah,” kata Wendy meyakinkanku.
“Aku tak
punya waktu untuk urusan itu, Wendy,” kataku.
“Lihat,
Jane!” kata Wendy menunjukkan selebaran kertas……
Sabtu, 13 Februari 1995
Aku memang tak salah
lagi. Aku memang mendengar semuanya. Ini rencana aneh yang pernah kudengar,
tepatnya kudengar secara diam-diam. Hari ini aku ingin bertemu dengan orang
bernama Jane itu.
“Hai, Jane! Bagaimana
pagi ini?” sapaku sehingga terlihat akrab dengan Jane.
“Hmm… pagiku aneh. Kau siapa?” tanya Jane yang mungkin
kebingungan.
“Leluconmu tak lucu,
jadi pagi ini kau pura-pura tak mengenalku,” kataku akrab.
“Tapi aku benar-benar
tak mengenalmu, lelaki berkuda aneh,” kata Jane ketus. Sangat ketus.
“Baiklah, nona Jane
Turner. Perkenalkan namaku Will. William Nilsson. Ayo cepat, kita hampir
terlambat,” kataku mensiasatinya agar tak bingung.
Saat berada di kudaku.
Ia seperti memikirkan sesuatu. Sesuatu yang janggal pastinya. Aku tak tau apa
untungnya melaksanakan rencana ini bagiku. Ini benar-benar membuatku bingung.
“Okay, Will. Kau pasti
tau seluk beluk tempat ini. Coba ceritakan padaku semua yang kau ketahui.
Terutama tentang Wendy,” tiba-tiba Jane bertanya.
“Kau ini bertanya seperti
kau baru menginjakkan kaki di tempat ini” kataku sambil tertawa.
“Memang. Aku kesini
mengikuti saudaraku, Wendy,” sekarang ia benar-benar serius.
“Sekarang aku mulai
takut, kau mengaku-ngaku saudara Putri Wendy? Amazing!” kataku sambil tertawa
lebih keras untuk mengelabuinya.
“Serius, Will. Aku
tersesat disini. Aku tak tau ini tempat apa.”
“Hmm… leluconmu hari ini takkan bisa mengelabuiku
nona. Ayo turun kita sudah sampai.”
“What? Tempat apa ini?
gedung tua apa ini?”
“Ini sekolahmu, bodoh!”
kataku sambil mencubit hidungnya.
“Aw… dimana kelasku?”
“Kita sekelas, nona
Turner-_-“ kataku sambil menarik tangan Jane.
“Oh… sial,” kata Jane pelan, aku tertawa kecil
melihat tingkahnya.
Seperti rencana Wendy
dan Jeremy, aku harus bertingkah seolah-olah Jane memang berasal dari sini.
Minggu, 14 Februari 1995
Setelah aku menjemput
Jane ke kandang kuda kerajaan, kau tau ia melakukan apa? Sebenarnya itu wajar
ia lakukan terhadap saudaranya. Setelah pertengakaran antar kedua saudara tiri
itu, (aku pun bingung ternyata putri Wendy bisa sekejam itu) aku mengajak Jane
pulang. Sepertinya dua hari yang stress bagi Jane yang berada di dunia yang
baru dikunjunginya. Aku hanya mengajaknya terbang and I think I’m in love.
She’s kinda cute. Ia terlihat bodoh, but I like it.
Selasa, 16 Februari 1995
Ini hari yang
menyakitkan. Kemarin, aku merayakan ulangtahun Jane. Tapi, baru saja aku
senang, ia sudah ingin pulang. Apalagi hari ini, ia mungkin tak melihatku yang
sedang memerhatikannya bertemu dengan Prince Vially. Sebenarnya aku tak punya
hak apapun untuk melarangnya.
Rabu, 17 Februari 1995
Sebenarnya aku tak harus
menulisnya disini, ini hanya akan mengingatkanku dengan hal-hal yang tak
mungkin terjadi. Hari ini aku melihat Jane sedikit murung. Ia tak suka jika ia
ke pesta Prince Vially memakai baju pirate. Aku ingat… ibuku pernah menyimpan gaun indah. Ya.. sedikit
menghiburnya walaupun ia sama sekali tak mengajakku atau menanyakan perasaanku.
Jumat, 19 Februari 1995
Saat paling membuat
mataku terbakar.
Di pesta itu, Jane
berdansa dengan Prince Vially. Mereka cocok sekali. Tapi entahlah, Putri Wendy
langsung merebut Vially dari Jane. Ia juga melirik ke arahku. Aku tau, Putri
Wendy pasti tau segalanya. Aku menghampiri Jane dan mulai melempar candaan
kecil. Tapi, ia memang benar-benar kecewa.
Di treehouse, aku
benar-benar tak tau mengapa aku marah saat Jane tau perasaanku. Aku hanya
takut. Takut karna jika aku mengakuinya, aku akan kehilangan Jane karna pasti
rencana Jeremy dan Wendy akan berantakan.
Rabu, 17 Oktober 1995
Aku tau Jane akan pulang
hari ini. Aku telah mencoba memberitahukan apa yang dibingungkannya. Tapi
NIHIL. Ia selalu tak mendengarkanku. Aku benar-benar pasrah. Di penjara ini,
aku hanya menulis di selembaran kertas ini. Aku disini karna aku telah ikut
campur terlalu jauh dalam rencana ini. Harapanku hanya satu, semoga aku bertemu
dengan Jane lagi suatu saat nanti. Aku harap Jane membaca ini.
“What?!
Jadi selama ini kau mengerjaiku?! Aku kira kau protagonist, Wendy. Teganya kau
masukkan Will ke penjara!” bentakku.
“Well,
tenanglah Jane. Will sudah keluar setelah kau kembali,”
“Lalu
dimana Will?”
“Di
tempat itu, Jane. UnEvidentLand. Aku akan mengajakmu sekali lagi, jangan
sia-siakan, Jane. Umurmu sudah bulat 17tahun, itu artinya hanya sebentar lagi
waktumu untuk ke UnEvidentLand,” kata anak lelaki yang benar-benar aku tau
wajahnya! Jeremy!
“K…
whatever,” kataku pasrah.
“Look at
my eye’s deeply!” suruh Jeremy.
Selasa, 16 Februari 1997
“Morning,
Jane!” sapa seorang di kamar tidurku.
“Si-siapa
kau?! Dimana aku?!” tanyaku heran.
“Kau
lupa padaku, nona Turner?” tanyanya.
“Will…
kau Will?” tanyaku nyaris tak percaya.
“That’s
right! How are you, Jane? You’re grow so fast,” kata Will.
“Apa aku
di UnEvidentLand?” tanyaku meyakinkan lagi.
“Dasar
gadis bodoh, menurutmu?”
“Oh, Will
maafkan aku,” kataku memeluk Will.
“Hey,
for what?” tanya Will heran.
“Aku
membaca semuanya, Will. Kau berusaha memberitahuku tapi tak berhasil, aku
selalu mengacuhkanmu, aku tak mengerti perasaanmu, betapa bodohnya aku, tapi
kau suka aku karna aku bodoh kan………... woops…… maaf Will,” kataku tanpa jeda.
“Bodoh,”
“Uh,
please don’t be angry,” kataku menatap Will.
“Siapa
yang marah, aku menyerah. Kau tau segalanya, kau memang cerdik!” kata Will
mengangkat tangannya.
“Aku
rindu treehouse,” kataku melihat keluar.
“Kau
harus ke Universitas, Jane…” kata Will.
“Ergh-_-
baiklah,”
*Miraculous*
“Hey!
Apa kau tak punya mata?! Bukuku jatuh semua!” omel seorang wanita yang
kutabrak. Aku kenal persis nada bicaranya…. Nastly. Ia bersama lelaki. You
know, Vially.
“Jika
tanganmu buntung, aku akan ambil. Kau masih punya tangan, kan?” kataku ketus.
“Kau ini
tak tau malu! Jelas-jelas kau yang menabrakku……”
“Stop,
aku buru-buru,” kataku meninggalkan Nastly dan Vially.
“Waittttttt!”
kata Vially menarik tanganku.
“Oh maaf
tuan, aku menjatuhkan buku pacarmu. Tapi aku sedang buru-buru, jadi apa kau
bisa menolongku untuk membereskan bukunya?” kataku pada Vially.
“Kau
barista itu kan? Sudah lama aku tak melihatmu lagi,” kata Vially mengenaliku.
“Maaf….”
kataku meninggalkan Vially, tapi aku benar-benar buru-buru….
BRUKKKKK…
shit, nabrak lagi-_-
“Well, sudah
berapa orang yang kau tabrak?” kata seorang lelaki yang kutabrak.
“Maaf,
aku sedang buru-buru…” teriakku.
*treehouse*
“Jane,
kita punya undangan pesta,” kata Wendy menunjukkan sebuah undangan ulangtahun.
“Nastly?!”
kataku kaget.
“Yes,
she’s on sweet seventeen,” kata Will menambahkan.
“Tapi
mengapa aku juga diundang?” kataku heran.
“Semua
mahasiswa Miraculous diundang,” kata Wendy
“Baiklah,
aku mulai benci acara ini dan tempat ini-_-“ kataku.
“Ayolah,
Jane. Just have fun,” kata Wendy.
“Whatever,
Must I wear pirate’s? And Wendy be a princess? Ergh,” kataku membaringkan
badanku ke kasur.
“Tak
perlu, Jane! Karna malam ini kau akan menjadi The Real Cinderella!” kata Wendy
misterius.
“Auch… apa
aku harus menjadi pembantu terlebih dulu, dimarahi saudara tiriku dan…..”
“TARAAAAAA!”
tunjuk Will dengan gaun indah di tangannya.
“Dan…….
ini indah sekali<3” kataku.
“Kau tak
perlu dimarahi atau apapun, karna jauh di dalam hati kecilmu kau baik sekali,
karna setiap manusia diciptakan suci tinggal mereka pilih….” Kata Wendy
kupotong.
“Antagonist
or protagonist, I know that. Kau terlalu mengguruiku, Wendy. Makanya aku benci
protagonist,” kataku.
“Ahaaa…
so try that, Jane. You must be so beautiful,” kata Will menyerahkan gaun
berwarna merah marun dan gold.
*Echanter’s
Party…. Whoops Nastly’s Party*
“Hey,
bukannya kau yang menabrakku tadi?!” bentak Nastly.
“So
that’s big problem for you?” kataku ketus.
“Yeah,
kau benar-benar tak tau malu. Tunggu sampai aku membuatmu malu, dime girl!”
“Silahkan,
nona. Sesukamu,” kataku meninggalkannya.
Seseorang
melihatku dari pertengkaranku dengan Nastly. Tepatnya lelaki. Siapa? Ia terus
melirikku.
“Jadi
kau juga yang menabrakku dan menabrak Nastly, bukan begitu?” kata lelaki itu
mendekatiku.
“Excusme….
Apa aku mengenalmu?” kataku mengerutkan dahiku. I know that person…
“Kau lupa?!” katanya tak terima.
“Calm
down, dude. I remember you… emm… Jason!” kataku tersenyum.
“Aku
kira kau tak ingat, kita pernah tidur sekamar….” kata Jason.
“Hey-_-
Dan kau sibodoh yang takut karna aku akan bilang pada Vially tentang sore itu.
Sungguh bodoh, mana mungkin Vially percaya begitu saja omonganku. Jelas-jelas
aku tak punya bukti, sang antagonist bodoh!” ejekku.
“Kau
perlu kuberi pelajaran, Jane. Ikut aku….”
Kau tau
ini yang kutakutkan. Terbang tinggi…. tinggi… tinggi… cepat….
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!
“Jason,
kau membuatku pusing,” kataku memegang kepalaku setelah mendarat.
“Jadi,
kau takut ketinggian?! Payah,” ejek Jason.
“Sungguh,
Jason. Aku tak kuat. Aku benar-benar takut dan pusing. Sepertinya aku akan
ping…….” *pingsan*.
“Jane…
Jane… Hello… Kau tak apa? Bangun Jane….” kata Jason panik.
“Jane….
bangun Jane!!!!!” kata Jason bertambah panik.
“Jane!
Jane! Ayolah sekarang kau membuatku takut,” kata Jason mengangkat tubuhku.
“Boo!!
Kau tertipu, Jason!!!!!!!!” kataku tertawa puas.
“Sial-_-“
“Aww…
sakit,” kataku karna Jason menjatuhkan tubuhku-_-
“Maaf,”
**
“Rupanya
kau ada disini, barista tak tau diri. Jane Turner. Nama yang bagus, akan lebih
bagus jika aku jatuhkan kau ke kolam……” kata Nastly mendorongku ke kolam.
BYAAAARRRR.!!!
Ah
tidak. Sebenarnya aku bisa berenang tapi gaun ini terlalu berat… berat dan
berat… Aku tak kuat lagi. Gaun ini seperti menarikku terus ke dasar kolam. Dan
gaun ini terus mencekik dadaku, aku tak bisa bernafas, gaun ini mengecil terkena
air. Ergh… but who’s that?!
“Bodoh…”
katanya dalam air *ping-san*
**
“Kau
keterlaluan, Nastly!” bentak suara itu…. Vially.
“Tapi
Vially, dia yang mulai…….” Nastly membela dirinya.
“Stop!
You’re like a child!” kata Vially.
“Bangun,
Jane…” bisik seseorang di telingaku…. Will.
“Ada apa
ini?” tanyaku heran.
“Kau
tenggelam. Astaga bibirmu biru sekali,” kata Wendy panik.
“Tenang,
Wendy aku tak apa,” kataku lemas.
“Saatnya
kau minta maaf, Nastly…” kata Vially menunggu.
“Tapi,
Vially. Dia yang harus minta maaf…” kata Nastly kesal.
“Aku tak
mau tau,” kata Vially.
“Baiklah,
aku minta maaf. Awas kau,” bisik Nastly mengancam dan pergi.
“Ini
handukmu, Jane,” Will menyerahkan handuk padaku.
“Jika
Vially tak basah… Will tak basah… Lalu siapa yang menyelamatkanku?” tanyaku
heran.
“Umm….”
kata Wendy.
“Tunggu,
Jane….” kata Will melihatku pergi.
**
“Jadi
kau yang menyelamatkanku?” kataku tak percaya menemukan Jason tengah kedinginan
di kursi tengah taman.
“Apa itu
penting?” kata Jason datar.
“Ta..
tapi mengapa kau menyelamatkanku?” tanyaku.
“Kau ini
bodoh sekali. Mana mungkin aku membiarkan seorang gadis tengah tenggelam karna
tak bisa berenang,” kata Jason.
“Hey-_-
aku bisa berenang. Hanya saja gaunku terlalu berat,”
“Mana
gaunmu?” tanya Jason.
HAH?!
“Tenang
saja, roknya sudah kucopot. Memang terlalu berat untuk gadis lemah sepertimu,”
kata Jason meremehkanku.
“Lemah?!”
“Jelas
saja, kau takut ketinggian,” kata Jason memancingku.
“Kau
ini-_- Hhh… baiklah aku hanya ingin mengucapkan terimakasih. Itu saja, bye,”
kataku pamit.
“Tunggu……”
Jason menarik tanganku.
“Ada
a—Oh God tanganmu dingin sekali…”
“Just a
gratitude? Temani aku,” kata Jason.
“Baiklah,
pakai handukku,”
“Tak usah,”
katanya.
“Kau
bisa mati kedinginan, bodoh,” kataku melemparkan handukku dan duduk di
sebelahnya.
Rabu, 17 Februari 1997
“Aku tak
mau tau, Jeremy….. aku ingin pulang. Aku benci disini,” kataku pada Jeremy.
“Hmmm……
baiklah,”
Senin, 14 June 1997
Morning!
Saatnya Jane Turner ganti diary. So, welcome to new life! Hari ini adalah hari
pertamaku di universitas. DUNIA NYATA!!!!! NOT MIRACULOUS! Haha.
Well,
aku dan Wendy sudah tak bersama lagi. Yay! Now I’m at London and she’s on
Paris. Honestly, I wanna in Paris too but it will be boring with Wendy. Ooops.
Hariku
lebih tenang dibanding masa itu. I have a lot of friends on this planet and I
have boyfriend J His name’s Zaq. I love my life.
Rabu, 16 June 1997
“Hi…”
sapa seseorang di perpus.
“Hi,”
jawabku.
“Mahasiswi
baru? Let me know ur name,”
“Jane.
Jane Turner… “
“William
Nilsson…”
“Whua-what?!!!!”
*SHOCKED*
“Hey,
what’s wrong with you?” kata Will heran.
“Nothing.
Sorry, I must go right now…” kataku berlalu.
*toilet*
I think this’s the best palace.
WHAT?!
IMPOSSIBLE. CALM DOWN, JANE. INI HANYA KEBETULAN. *phone ringing*
“Hello,
babe. I’m so sorry. My sister was sick. I have to go to hospital….” Suara Zaq
panik.
“Yep,
Zaq. It’s okay. I can go home by my self,” kataku.
“Thanks
babe, be careful,”
“Yep,
bye,”
Yea,
hujan mulai turun. Sepertinya aku harus cepat. *wear headset*
“Mengapa
kau malah hujan-hujanan? Yang lain berlarian mencari tempat berteduh. Ayo,”
kata seorang lelaki melepaskan jaketnya memayungiku dan menarik tanganku ke
tempat teduh.
“Pertanyaannya
adalah mengapa sekarang hujan? Kalau tak hujan, aku pun tak akan hujan-hujanan.
Sayangnya aku suka hujan, tapi kadang aku membencinya,”
“Hah?
So, whats wrong with hujan?” tanyanya bingung.
“Bagaimana
perasaanmu sekarang bersamaku?”
“Em…
happy… confused, yep happy to be confused,”
“Haha,
bagaimana kalau hujannya reda?”
“Em….”
Lelaki
seumuranku itu hanya diam. Sibuk memikirkan jawabannya. 15 menit berlalu.
“Menurutku
hujan sudah mulai reda, aku duluan. Thanks,” kataku tersenyum.
“Jane!!!” teriak seseorang dari mobilnya.
“Oh hai,
Will,” kataku melambaikan tangan.
“Wanna
go home? Biar kuantar… masukklah,”
“Wohoo
thanks, jadi kau tak membawa kuda lagi?” tanyaku tak sadar.
“Excusme?”
“Oh
sorry,”
*on the
way*
“Rumahmu
dimana, nona?”
“Um,
Driwess st 7. Tak apa bila kau mengantarku? Kau senior em maksudku….’
“Dengan
senang hati, I’m single, atau kau takut pacarmu marah? Lantas mengapa pacarmu
tak menjemputmu? Tega sekali ia meninggalkanmu di saat hujan,”
“Em, itu
rumahku. Kau bisa turunkan aku sekarang, terimakasih,” *out*
Lancang
sekali dia berbicara begitu. Dia tak tau apapun tapi berani bicara tentang
Zaq-_- Hey siapa itu? Bukannya ia lelaki tadi?
“I know
the answer!” katanya.
“Jadi
kau mengikutiku ke rumah hanya untuk sebuah jawaban bodoh?” tanyaku heran.
“Tidak
juga, rumahku di sebelah rumahmu. Aku tetangga barumu,” katanya tersenyum.
“Oh….
Hai Zaq, miss you so much baby *hug Zaq*” kataku menghampiri Zaq dan
memeluknya.
“Oh,
babe. How bout your day?” kata Zaq merangkulku dan masuk ke rumah.
Sebaiknya
aku tak menghiraukan tetangga baru itu. Aneh.
“It’s so
awkward. I met many new friends but some of them are strange,”
“Haha,
oya? Are they annoyed you?”
“Yes,
how bout ur sister?”
“She’s
okay now,”
“Good,”
“That’s
hot chocolate….”
“Thankiesssss
my sweetie, *CUT!!! Message from Tika. Sebenernya gua rada enek bikin dialog
ini. tapi….. ekekek(?)* after this, I’ll go back to hospital…”
“That’s
okay. Take care,”
*TIKA
MUNTAH*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar